#24 Des ‘12
Matahari masih
malu. Mengintip dari balik awal di ufuk sana. Angin masih dingin terasa,
sedingin air mata semalam, sedingin tubuh menggigil dan bergetar, sedingin
penyesalan di hati. Apakah ini pertanda mimpi itu? Mimpi yang emmbuatku menangis
selama aku tidur? Mimpi yang membuat tetap menangis meski aku telah terbangun.
Kuputuskan aku
harus segera pulang, meski banyak tanggungan yang kutinggalkan, aku percaya
pada teman-temanku dan semoga mereka mengerti keadaanku. Akupun memberanikan diri
pulang tanpa membawa alat komunikasi (hp hilang) Pukul 08.15 aku tiba di
terminal giwangan dan ternyata bus tujuan Cirebon sudah penuh dan harus
menunggu bus selanjutnya, sekitar 10 penumpang lainnya-pun mengalami hal yang
sama. Tak terlalu lama, pukul 09.00 bus datang dan akupun segera masuk.
Saat akan
membayar tiket kondektur bertanya mau kemana? “Cirebon” jawabku singkat,
kondektur itu bilang, ini cuma sampai tegal.
Aku berpikir
sejenak, daripada aku mencari bus yang lain, mending aku naik sampai tegal
kemudian mencari kendaraan sampai Cirebon. Meski aku belum pernah turun di
tegal dan kendaraan apa yang menuju Cirebon. Aku piker sampai di tegal pukul
16.00 dan itu masih cukup siang untuk mencari kendaraan ke Cirebon.
Aku duduk dengan
seorang bapak, ia membawa istri serta kedua anaknya, yang satu putri
kemungkinan dia masih sekolah setingkat tsanawiyah dan satu lagi anak berumur
20 bulan. Istri dan anknya duduk di bangku sebelah sehingga aku bisa melihat
jelas tingkah dan pola anak bungsunya.
Aku melihat
keceriaan anak itu, taanya, cerianya, dan tangisnya adalah sebuah kepolosan
manusia. Teringat alas an mengapa aku pulang, arif (ponakanku) teringat panggilannya
kepadaku, bukan om wahyu, tetapi om dedi. Ya, karena aku jarang pulang yang dia
tahu om-nya adalah dedi (adikku) dan jika aku pulang ia akan berkata “om-nya
ada dua, om-nya ada dua” dengan bahasa cedalnya.
Jika dia memanggilku
ia akan memanggil “om dedi mana, om dedi mana?” mbakku menjawab ini om dedi,
dan dia berkilah “bukan yang ini, om dedi atunya lagi” masih dengan susunan beberapa
konsonan dan vocal yang hilang. Teringat juga bagaimana ketika ia belajar
berjalan, bukan dengan merangkak seperti anak pada umunya, tapi ia ingin
langsung berjalan, walau terjatuh, dan terjatuh lagi ia tetap berusaha jalan. Ia
tidak mau merangkak dan tidak pernah merangkak sebelumnya dan akhirnya ia bisa
berjalan dan berlari. Dan kini membayangkan arif tak bisa jalan karena tulang kaki
kirinya patah.
Semua kenangan
akan dirinya muncul satu persatu. Aku terharu. Tak tahan ari mataku, tapi aku
malu. Seperti menjadi sebuah hukum dan ketetapan bersama bagi laki-laki,
laki-laki tidak boleh menangis. Oleh karena itu kupalingkan wajahku ke jendela,
melihat deretan rumah dan pepohonan berjalan ke belakang. pohon yang berjalan
atau mobil yang bergerak? Teringat teori dan hokum fisika mengenai relatifitas
sewaktu SMA.
Aku malu jika
penumpang disampingku tahu aku menangis, jadi kututup denga jaket dan terkadang
ku palingkan wajahku ke luar bus.
Mendung menutupi
langit biru, selimut hitam pekat menyelimuti bumi, menemani perjalanan, getar
hati tak terbantahkan, menyusuri sanubari terdalam, sebuah ujian dan juga
cobaan bisa datang pada siapa saja, tidak tua, tidak juga muda, bisa saat ini,
bisa juga esok hari atau mungkin nanti.
Ketika manusia
memohon pada Tuhan, berikanlah aku kesabaran, maka apakah Tuhan akan
memberikanmu kesabaran? Ataukah Tuhan memberikanmu kesempatan untku bisa
bersabar??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar