Jumat, 28 Desember 2012

aku harus pulang part 1



#24 Des ‘12

Matahari masih malu. Mengintip dari balik awal di ufuk sana. Angin masih dingin terasa, sedingin air mata semalam, sedingin tubuh menggigil dan bergetar, sedingin penyesalan di hati. Apakah ini pertanda mimpi itu? Mimpi yang emmbuatku menangis selama aku tidur? Mimpi yang membuat tetap menangis meski aku telah terbangun.
Kuputuskan aku harus segera pulang, meski banyak tanggungan yang kutinggalkan, aku percaya pada teman-temanku dan semoga mereka mengerti keadaanku. Akupun memberanikan diri pulang tanpa membawa alat komunikasi (hp hilang) Pukul 08.15 aku tiba di terminal giwangan dan ternyata bus tujuan Cirebon sudah penuh dan harus menunggu bus selanjutnya, sekitar 10 penumpang lainnya-pun mengalami hal yang sama. Tak terlalu lama, pukul 09.00 bus datang dan akupun segera masuk.
Saat akan membayar tiket kondektur bertanya mau kemana? “Cirebon” jawabku singkat, kondektur itu bilang, ini cuma sampai tegal.
Aku berpikir sejenak, daripada aku mencari bus yang lain, mending aku naik sampai tegal kemudian mencari kendaraan sampai Cirebon. Meski aku belum pernah turun di tegal dan kendaraan apa yang menuju Cirebon. Aku piker sampai di tegal pukul 16.00 dan itu masih cukup siang untuk mencari kendaraan ke Cirebon.
Aku duduk dengan seorang bapak, ia membawa istri serta kedua anaknya, yang satu putri kemungkinan dia masih sekolah setingkat tsanawiyah dan satu lagi anak berumur 20 bulan. Istri dan anknya duduk di bangku sebelah sehingga aku bisa melihat jelas tingkah dan pola anak bungsunya.
Aku melihat keceriaan anak itu, taanya, cerianya, dan tangisnya adalah sebuah kepolosan manusia. Teringat alas an mengapa aku pulang, arif (ponakanku) teringat panggilannya kepadaku, bukan om wahyu, tetapi om dedi. Ya, karena aku jarang pulang yang dia tahu om-nya adalah dedi (adikku) dan jika aku pulang ia akan berkata “om-nya ada dua, om-nya ada dua” dengan bahasa cedalnya.
Jika dia memanggilku ia akan memanggil “om dedi mana, om dedi mana?” mbakku menjawab ini om dedi, dan dia berkilah “bukan yang ini, om dedi atunya lagi” masih dengan susunan beberapa konsonan dan vocal yang hilang. Teringat juga bagaimana ketika ia belajar berjalan, bukan dengan merangkak seperti anak pada umunya, tapi ia ingin langsung berjalan, walau terjatuh, dan terjatuh lagi ia tetap berusaha jalan. Ia tidak mau merangkak dan tidak pernah merangkak sebelumnya dan akhirnya ia bisa berjalan dan berlari. Dan kini membayangkan arif tak bisa jalan karena tulang kaki kirinya patah.
Semua kenangan akan dirinya muncul satu persatu. Aku terharu. Tak tahan ari mataku, tapi aku malu. Seperti menjadi sebuah hukum dan ketetapan bersama bagi laki-laki, laki-laki tidak boleh menangis. Oleh karena itu kupalingkan wajahku ke jendela, melihat deretan rumah dan pepohonan berjalan ke belakang. pohon yang berjalan atau mobil yang bergerak? Teringat teori dan hokum fisika mengenai relatifitas sewaktu SMA.
Aku malu jika penumpang disampingku tahu aku menangis, jadi kututup denga jaket dan terkadang ku palingkan wajahku ke luar bus.
Mendung menutupi langit biru, selimut hitam pekat menyelimuti bumi, menemani perjalanan, getar hati tak terbantahkan, menyusuri sanubari terdalam, sebuah ujian dan juga cobaan bisa datang pada siapa saja, tidak tua, tidak juga muda, bisa saat ini, bisa juga esok hari atau mungkin nanti.
Ketika manusia memohon pada Tuhan, berikanlah aku kesabaran, maka apakah Tuhan akan memberikanmu kesabaran? Ataukah Tuhan memberikanmu kesempatan untku bisa bersabar??

Tidak ada komentar:

Joint With