Rabu, 16 November 2011
Wanita dan Merpati Putih
Oleh : Wahyu Nugroho
Semburat jingga menghas awan, bersama tiupan angin. Perlahan dan menyejukan. Mentari seakan ingin cepat menghilang di barat sana. Waktu sangat cepat berlalu, ingin rasanya ku perlambat hingga aku bisa menjalankan jadwal sesuai rencana. Seringkali ku terlambat, seringkali agenda-agenda saling bertabrakan. Terkadang ingin kusesali diri ini, mengiyakan amanah-amanah organisasi yang diberikan kepadaku, namun disatu sisi aku senang, karena banyak pengalaman yang kudapatkan.
Sore itu, seperti biasa aku keluar dari ruang ormawa kampus setelah berdiskusi ringan dengan kawan-kawan. Kususuri koridor yang menghubungkan pendopo kampus dan deretan ruang kelas di sebelah barat. Ku berjalan perlahan, ingin rasanya menikmati sedikit hembusan angin sore, setelah pengap yang terasa di dalam ormawa. ingin rasanya ku pandangi lebih lama bunga-bunga dan tanman yang menghijau itu setelah lama kuberada di sana. Ruang itu terkadang membawa bahagia, semangat, dan juga kebersamaan namun terkadang juga tempat itu membawa duka, memberi derita, dan juga putus asa.
Wanita berkerudung putih dan baju gamis sendiri di sudut pendopo. Sudah tiga hari ini setiap sore ia ada dsana. Diam dan sendri. Hanya termenung memandang rerumputan di sebelah barat pendopo. Aku terheran dengan apa yang dilakukannya, sesekali menerka apa yang dia pikirkan, sesekali ku menduga apa yang dia pandang. Ku lihat sekitar pendopo, hanya rerumputan, lapangan badminton, kolam ikan dan juga tumbuhan beserta bunga yang menghiasi. O ya, aku terlupa satu hal. Merpati putih.
Merpati puth. Bersih dan indah. Berterbangan d rerumputan, kepalanya mematuk-matuk tanah mencari makanan, terkadang menoleh-nolehkan kepalanya dan kembali mematuk-matukkan kepalanya ketanah. Ia terbang dari satu sisi ke sisi yang lain, tak jauh hanya beberapa meter jaraknya. Tak kusangka aku berhenti berjalan, berdiam diri di koridor dan memandangi merpati putih. Sama seperti yang dilakukan wanita itu. Diam dan memandang merpati. Aku tersadar dari lamunanku dan kulanjutkan langkahku menuju tempat kos.
Sore di esok hari, mentari bersinar lebh cerah, bayang tetumbuhan terlihat lebh jelas. Di sudut pendopo dengan dengan warna kerudung yang sama, putih dan baju gamisnya. Tak biasanya dia di sana. Dia memang pendiam, namun ramah dan menyenangkan saat berbicara dengannya. Kutahu dia saat saat pelatihan leadership yang di selenggarakan fakultas, pada saat itu aku sekelompok dengannya. Begitu juga saat kulihat dia bercengkerama dengan teman-temannya.
Saat itu aku berjalan masuk dari timur pendopo. Jadi dengan jelas kulihat dia dari belakang dengan latar rerumputan dan juga burung merpati. Aku terheran, apa yang ada dalam benaknya. Ia tak mengubah posisi duduknya, tak beranjak dari tempat itu, tak juga menggenggam HP sebagaimana kebanyakan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Ia hanya duduk sendiri, memandangi merpati hingga suara panggilan mengalun syahdu, tanda siang berganti malam, pertanda tiap insan harus segera mengambil wudhu lalu menghadapNya.
Kala itu aku duduk di sisi lain pendopo, namun aku masih di belakangnya dan agak jauh hingga ia tak sadar bahwa ada orang lain d pendopo itu. Kulihat dirinya, kuihat juga merpati itu. Tak berapa lama kemudian, mendung tipis menyelmuti, perlahan bayang itu tak jelas adanya. Menyatu dalam redupnya cahya sore.
Angin berhembus, sedikit kencang dari sebelumnya. Kupandang dedaunan yang tertiup angin itu. Kupandangi pepohonan itu condong mengikut kemana angin berhembus. Kupandangi dedaunan yang berjatuhan. Semuanya begitu menyejukan terlebih dengan tokoh utama di halaman barat pendopo itu. Merpati putih.
Ah bodohnya aku selama ini. Bagaimana bisa pemandangan yang menyenangkan dan menyejukan seperti ini tak pernah kunikmati. Hampir dua tahun ku di sini, tak pernah kurasakan kedamaian dan ketenangan kampus sebelumnya. Mungkin karena tugas-tugas, mungkin karena organisasi, mungkin karena tuntutan-tuntutan hidup lainnya. Karena kau adalah lelaki, karena kau adalah anak pertama, karena kau adalah harapan keluarga. Ah! Kata-kata itu mungkin yang menyebabkan ku tak bisa menikmati indahnya sore, mungkin karena itu aku tak pernah menggubris burung merpati yang putih, mungkin karena itu juga tak pernah ku pandangi dedaunan yang terhembus angin d sore hari, terlebih menikmati indahnya mentari tenggelam di pantai. Aku tak sempat melakukan itu semua.
Oh.... beginilah indahnya sore. Ketika manusia memikirkan hal-hal yang besar, terkadang ia lupa pada yang kecil. Kuteringat bahwa aku tak sendri. Wanita itu mash di sana, seperti saat ku datang tadi. Apakah yang dia rasakan? Masalah? Beban hdup? Putus cintakah seperti anak muda pada umumnya? Atau apa?
Ku tak bisa memahami. Tak mudah menebak hati. Namun kni sedikit ku mengerti, kenapa dia selalu disini memandangi merpati, sedikit kumengerti akan risaunya hati, sedikit kumengerti akan makna sore hari. Suara adzan mengalun sendu, merasuk tiap kalbu dengan begitu lembutnya, menyadarkan pada manusia siapakah dirinya. Aku dan juga wanta itu beranjak dari tempat duduk tuk memenuhi panggilanNya, karena kami adalah manusia biasa.
Rabu, 26 Oktober 2011
Catatan Harian Wilayah
Tidak Ada Yang Salah Dengan Komik
Senin, 16 Mei 2011
Enam Planet dalam Satu Baris
Nostalgia Upacara
Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat
Minggu, 15 Mei 2011
Manfaatkan Masa Kuliahmu
Oleh Wahyu Nugroho
Tak lihatkah jarum jam berputar, dan terus berputar. Lihatlah kawan sekali lagi, dengan cermat dan
hati-hati, lihatlah jarum jam, lihatlah jarum penanda menit dan lihatlah jarum yang menunjukan detik itu. Tak pernah berhenti berputar (kecuali kalo beterai habis he..he..) waktu akan terus berlalu.
Empat tahun kita akan berada disini menyandang gelar sebagai mahas
iswa. Menurut kawan-kawan, apakah 4 tahun itu waktu yang lama? Mngkin bagi sebagian orang itu waktu yang lama untuk mendapatkan selembar kertas, sehingga ketika kita tanda tangan maka di belakang nama terdapat rangkaian kata S.Pd. akan tetapi jika kawan sekalian disini, dikampus ini bertujuan untuk mencari ilmu, maaf saya katakan 4 tahun adalah waktu yang sangat singkat. Sangat-sangat singkat.
Ilmu itu sangat luas, benar-benar luas. Semakin kita mencari ilmu, semkain kita mendalami sesuatu, maka kita akan merasa semakin bodoh dan semakin banyak yang tidak kita tahu. Apakah kawan-kawan juga merasa demikian? Jika kawan sekalian tidak merasa, atau malah berpikir saya ini pintar, saya ini pandai dan sebagainya maka saya sampaikan pesan hati-hatilah dengan kesombongan.
Ilmu tidak hanya didapat di dalam kelas, ilmu tidak hanya didapat dari dosen dan guru, ilmupun tidak selalu diperoleh dari buku. Karena ilmu ada dimana-mana dan ilmu itu ada disekeliling kita. Di organisasi, baik itu di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal, di lembaga-lembaga sosial, di dalam pergaulan, dan disetiap kejadian kita dapat mengambil ilmu (pelajaran) didalamnya.
Dalam organisasi misalnya, mereka bukanlah orang yang kurang kerjaan dan mencari-cari kesibukan, akan tetapi orang yang selalu ingin belajar. Belajar berorganisasi, belajar berkorban dan bekerjasama mengesampingkan ego yang ada, belajar berbagi dan bersosialisasi. Bersosialisasi? Ya, karena suatu saat nanti kita dituntut untuk bekerjasama dengan orang lain yang bahkan tidak kita senangi. Dalah hal sederhananya seperti ini, ketika di dalam kelas dibagi dalam beberapa kelompok dan orang itu tidak mau satu kelompok dengan Si B atau Si C, dia ingin satu kelompok dengan si D misalnya, maka dia salah satu ciri orang yang tidak bisa bekerjasama.
Empat tahun lamanya, akankah kita habiskan hanya untuk kuliah dan berdiam diri di kamar kos? Tidakkah tertarik untuk keluar dari zona kenyamanan bersama teman-teman yang lain?
Waktu tak pernah berhenti, siang dan malam silih berganti, akan terus begini dan seperti ini hingga di kubur nanti. Tak peduli walau engkau diam tak berbuat apa atau engkau bersusah payah bekerja.
Ketika kau lihat siang, maka malam kan menjelang. Ketika kau lihat rembulan maka pagi kan datang. Lalu apa yang telah kita lakukan, membiarkan waktu datang dan terbuang? Atau kita memanfaatkan dengan penuh kebermanfaatan? Semuanya ada dalam pilihan.
Masa Muda Masa Berkarya
Kaum muda adalah penggerak bangsa. Tumpuan dan harapan Indonesia. Generasi yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Itulah impian kaum tua kepada kaum muda.
Banyak permasalahan yang ada, bukan untuk direnungkan, bukan pula sekedar untuk didiskusikan tapi di selesaikan. Banyak diskusi-diskusi yang ada hanya sebagai sebuah eksistensi kelompok dan juga sekedar meramaikan kampus belaka, namun kehilangan esensi diskusi. Ya, sebenarnya untuk apa kita semua duduk melingkar bersama teman-teman “seperjuangan”, untuk apa kita semua berdebat hingga larut malam? Untuk menyelesaikan permasalahan tentunya.
Retorika-retorika hanya akan jadi sampah. Silat lidah hanya menghabiskan tenaga tanpa mengurangi permasalahan yang ada, bahkan malah menambah masalah. Cukup sudah untaian kata dan kalimat seperti orang yang dimabuk cinta. Mahasiswa bukanlah pujangga.
Berbuat sesuatu yang dapat bermanfaat untuk bangsa dan negara adalah kebanggaan, lalu pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan? Lakukan apa yang kita bisa. Itu kunci utama, sebuah pemikiran hanya akan jadi angan-angan jika tidak dilaksanakan. Seperti orang yang bermimpi, semua akan hilang ketika bangun dipagi hari. Sekecil apapun bentuk usaha kita akan bermakna ketimbang orasi-orasi dipinggir jalan raya tanpa ada hasil nyata.
Setiap diri kita memiliki kemampuan yang berbeda, tak bisa disamakan dan memang kita beragam. Dengan latar belakang pendidikan yang penuh warna mari kita berbuat sesuatu untuk bangsa. Dengan spesifikasi di bidang masing-masing kita bergandeng tangan lakukan sesuatu semampu kita.
Sekarang sudah sadarkah pemuda indonesia akan perannya dalam membangun bangsa Indonesia? Banyak pula pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan sia-sia, mencari kesenangan semata, dan memenuhi hasrat jiwa dan raga dengan kehampaan dan generasi tua serta pendahulu kita akan kecewa.