Selasa, 22 Januari 2008

Soeharto

Soeharto

Seluruh artikel ini diambli dari :
http://intelindonesia.blogspot.com/2008/01/soeharto.html


Sebenarnya saya agak sungkan dan ragu untuk menuliskan artikel khusus tentang mantan Presiden Suharto yang saat ini masih dalam keadaan sakit yang dilaporkan Tim Dokter Kepresidenan dalam kondisi kritis. Tetapi terdorong oleh kejanggalan bombardir berita tentang kondisi Pak Harto sejak tanggal 4 Januari 2008, saya merasa berkewajiban untuk sekedar sharing analisa yang mudah-mudahan bisa menjadi pegangan yang kuat bagi seluruh elemen reformasi Indonesia. Beberapa poin penting yang mendasari lahirnya tulisan khusus ini adalah sebagai berikut:

Pertama, saya yakin bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh rasa kasih yang bisa diartikan bahwa sangat mudah kita mengasihani kondisi siapapun yang patut dikasihani. Dalam kaitan ini, jiwa kemanusiaan bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi, sehingga tidaklah mengherankan apabila respon-respon spontan yang mencerminkan kejujuran ekspresi mengasihani kondisi yang sedang dialami Pak Harto benar-benar ada di berbagai penjuru Indonesia. Kejujuran yang merupakan simpati dan empati yang tidak memerlukan liputan radio, koran, ataupun TV. Tetapi lebih diekspresikan tanpa ada maksud menjilati keadaan, memamerkan kekuatan, ataupun mempertontonkan rasa bersalah karena pernah menghianati Pak Harto. Dengan kata lain, langsung mendo'akan yang terbaik bagi Pak Harto dan do'a itu tidak perlu dipertontonkan dengan mengundang media massa.

Kedua, karena kepolosan dan kejujuran masyarakat akar rumput maka dengan mudah pula segelintir elit lama maupun baru memanipulasi kegiatan yang baik yaitu do'a bersama menjadi media atau ajang show kepedulian yang tiba-tiba bagaikan jamur dan hebatnya adalah diliput secara terus-menerus oleh media massa.

Ketiga, betapa dahsyat peranan media massa dalam mendramatisir sebuah keadaan wajar manusia sakit dalam nuansa-nuansa pembentukkan opini untuk pembenaran salah satu cara pandang. Seolah-olah hal itu menjadi legitimasi moral bagi seluruh bangsa Indonesia untuk digiring pada cara pandang tertentu, khususnya dalam upaya menghapuskan segala persoalan yang melibatkan Pak Harto.

Keempat, betapa mantapnya langkah anasir kekuatan Orde Baru untuk memaksakan cara pandang tertentu bahkan dengan melakukan tekanan-tekanan kepada Presiden SBY, sampai-sampai SBY sempat salah langkah pada saat respon pertama, dan hal itu dengan sangat lihai dipelintir dan ditekankan sebagai langkah blunder yang disusul oleh semacam ekspresi maaf. Sungguh malang nasib Jaksa Agung Hendarman Supanji yang terpaksa harus menanggung kondisi malu dan serba tidak enak dengan menelan segala tuduhan jahat dalam respon pertama SBY.

Kelima, menguatnya cara pandang militeristik terlalu kentara dan hal ini merupakan indikasi telah bangkitnya percaya diri yang berlebihan dari sejumlah kubu militer dengan mengagung-agungkan rencana "pemakaman" Jenderal Besar Bintang Lima. Siapapun yang merancangnya, dia tahu persis kondisi psikologis bangsa Indonesia.

Dari lima dasar pemikiran tersebut di atas saya ingin menyampaikan kepada seluruh publik Indonesia untuk membuka mata lebar-lebar dan menempatkan persoalan sesuai dengan kadar dan posisinya, sebagai berikut:

Pertama, ekspresi kemanusiaan terhadap kondisi pimpinan yang sedang sakit adalah suatu kewajiban yang wajar sebagai sesama manusia yang memiliki perasaan. Mengenang jasa-jasa seorang pemimpin juga hal yang lumrah manakala hal itu tidak ditujukan untuk menutup-nutupi kekeliruan sekecil apapun. Bahkan dalam kondisi tertentu tranparansi sebelum kita melanjutkan perjalanan ke alam kubur adalah sangat penting guna melepaskan segala ikatan duniawi yang akan menggelantungi perjalanan kita karena masih adanya kaitan kesalahan, utang ataupun urusan duniawi lainnya.

Kedua, tugas sebagai seorang prajurit atau jenderal, tugas sebagai pegawai kelurahan atau presiden bukanlah pekerjaan kepahlawanan. Pahlawan adalah mereka yang mengabdikan diri untuk bangsa dan negara tanpa mendapatkan imbalan, bahkan rela mengorbankan harta dan jiwa. Seorang Presiden Republik Indonesia mendapatkan begitu banyak imbalan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam, pajak rakyat, atau bahkan konsesi dari mekanisme perizinan di masa lalu. Adalah keliru bila kita mempercayai propaganda pahlawan pembangunan, ataupun propaganda tentang jasa seorang abdi bangsa dan negara sampai-sampai tidak bisa diukur. Membangun bangsa dan negara Indonesia adalah amanat, tugas dan kewajiban seorang pemimpin. Sebagai imbalan dari pelaksanaan amanat rakyat tersebut, seorang pemimpin digaji dan diberikan fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan level pimpinan negara. Apabila seorang pemimpin tidak melaksanakan amanat rakyat apalagi menghianatinya, maka hukuman juga akan diterapkan dengan tidak lagi menghendaki kepemimpinannya. Dalam kaitan ini, peristiwa Mei 1998 adalah bukti hukum dan sejarah bahwa rakyat tidak lagi menghendaki kepemimpinan Pak Harto. Bahkan telah lahir TAP MPR yang menjadi dasar hukum upaya penuntasan segala kasus yang melibatkan Pak Harto dan kroni-kroninya.

Ketiga, menghargai jasa pimpinan negara adalah wajar dan harus ditunjukkan secara nyata melalui kebijakan formal, melalui penghormatan, ataupun melalui ekspresi informal yang sunguh-sungguh merefleksikan ketulusan. Apapun yang diambil pemerintahan SBY sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap mantan Presiden Suharto harus dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang dan bukan karena tekanan Golkar yang sudah memulihkan kekuatannya paska gerakan reformasi. Pertimbangan yang matang tersebut juga tidak dalam ketergesa-gesaan hanya karena untuk memenuhi desakan pengacara keluarga Suharto yang memang sangat pandai dan licin. Saya sangat yakin bahwa Pak Harto lebih menghendaki transparansi jalan hidupnya ketimbang formalitas penghapusan delik kasusnya. Karena dengan demikian secara hukum akan jelas, bersalah atau tidak. Bila dinyatakan bersalah, maka bolehkan ada wacana pengampunan. Tetapi bila terbukti tidak bersalah, maka harus ada proses pembersihan nama baik secara totala dan tidak perlu ada pengampunan.

Keempat, tentu saja kejujuran itu merupakan hal yang sangat mahal di zaman kini. Karena rasanya sangat sulit untuk menempuh jalan panjang pembuktian hukum kasus Pak Harto. Ketiadaan unsur pengakuan dan kesulitan pembuktian dengan bukti keras dan saksi-saksi telah memberikan prediksi jalannya proses pengadilan kasus Pak Harto terlalu berkepanjangan. Andaikata saja ada kejujuran dari keluarga Pak Harto yang bisa segera menyelesaikan persoalan, maka persoalan akan segera selesai dan pemerintah maupun bangsa Indonesia akan sangat menghargainya dan sudah pasti akan diampuni dan bahkan do'a dengan ketulusan akan bergema di seluruh pelosok negeri dengan penghormatan yang dalam. Tetapi yang terjadi adalah penghukuman ganda dari berbgai penjuru yang akhirnya membuat Pak Harto dalam himpitan ketidakberdayaan.

Kelima, berhati-hatilah dengan gerakan anasir Orde baru yang telah mencengkeram kembali sendi-sendi kehidupan bernegara di Indonesia. Sementara unsur kebangsaan lagi-lagi terabaikan, anasir Orde baru secara serius telah mengembangkan operasi politik sebagaimana biasa dilakukan di masa lalu. Seluruh elemen intelijen paham apa yang saya katakan, karena kita biasa mengerjakannya dahulu.

Mohon disebarluaskan kepada seluruh elemen gerakan reformasi, semoga dapat menjadi penguat untuk berpegang teguh pada cita-cita membangun good governance di bumi Indonesia Raya. Dengan catatan penting bahwa kita tetap menghormati mantan Presiden Suharto dan menghargai jasa-jasanya, namun janganlah moment yang sedang dilalui Pak Harto dimanfaatkan oleh kroni-kroninya untuk penghilangan seluruh persoalan lama dan seolah-olah tidak pernah terjadi.

Akhir kata saya mohon saya dikoreksi bila ada yang keliru dan atas ketidaketisan tulisan ini, saya juga mohon ma'af yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Jenderal Soeharto dan orang-orang terdekatnya.

Semoga niat baik yang saya teguhkan dalam hati saya untuk masa depan Indonesia Raya bisa mengurangi dosa-dosa saya karena menuliskan artikel ini.

Tidak ada komentar:

Joint With