Minggu, 08 Desember 2013

Setelah Membaca Novel 99 Cahya di Langit Eropa


Akhir-akhir ini sedang booming film 99 Cahaya di Langit Eropa yang diangkat dari novel dengan judul yang sama. Aku teringat saat pertama kali novel ini mulai dipasarkan sekitar 2 tahun yang lalu. Ada seorang yang mereview novel tersebut di buletin kampus, akupun tertarik. aku putuskan untuk membeli novel tersebut.

Ketika sampai di toko buku, ada novel yang terbuka. Aku putuskan membaca sedikit sebelum membelinya, aku takut pada akhirnya akan kecewa. Lembar demi lembar aku baca, namun akut tidak juga menikmatinya, sekitar 50 halaman pertama aku baca, tapi aku tidak tertarik sama sekali. Datar. akhirnya aku memutuskan tidak jadi membelinya.

dua tahun berlalu, novel itu diangkat ke layar lebar. Sebelum melihat film 99 cahaya di langit eropa aku memutuskan untuk membaca novelnya hingga tuntas. Beberapa novel yang diangkat ke layar lebar tidak memuaskan, inti yang ingin disampaikan penulis dalam novel tersebut tidak terwakilkan ketika sudah diangkat ke layar lebar. salah satu film tersebut ialah ‘Cinta Suci Zahrana’ dan ‘Sang Kyai’ yang menurut saya pribadi telah gagal mewakili pemikiran penulisnya (padahal sudah dibela-belain nonton di bioskop -_-). Sehingga aku harus membaca novel sebelum menonton filmnya.

novel 99 Cahaya di langit Eropa sudah kugenggam. Aku baca tapi tidak menarik buatku. Sehari aku hanya mampu membaca 150 halaman pertama, dan aku masih belum menikmati novel ini. Esoknya aku lanjutkan membaca tetap saja membosankan. Datar. Tidak ada yang menarik untuku kecuali pengetahuan-pengetahuan baru mengenai jejak islam dalam peninggalan-peninggalan benda bersejarah.

Aku bingung, ini novel atau buku? Mungkin ini sangat subjektif, tapi itu yang kurasakan. Novel ini terlalu memaksakan dan kurang mengalir bahkan hingga setengah buku pertama aku masih belum menikmatinya. Tidak ada konflik, tidak ada klimaks.

Aku teringat akan lukisan karya Mustofa Bisri (Gus Mus) yang kontroversial “Dzikir Bersama Inul”. Ketika beliau (Gus Mus) dimintai membeberkan makna dan pesan dari lukisan itu beliau menolak. Menurut beliau kalau dia ingin menyampaikan pesan dengan berbicara, kenapa harus melukis? Kenapa tidak sekalian pidato saja? Atau ceramah? Atau nulis buku?

Mungkin buku ini, maksud saya novel ini terlalu vulgar dalam menyampaikan pesan. Sehingga kurang memperhatikan estetikanya. Inilah hambatan-hambatan para penulis yang ingin membuat novel islami, kebanyakan novel islami saat ini lebih memborbardir pembaca dengan Hadist dan ayat Al-Quran, lebih mirip buku kumpulan ceramah ketimbang novel,  mungkin banyak penulis novel islami (yang ikut-ikutan mencoba membuat novel islami setelah meledaknya Ayayt Ayat Cinta) berpikir novel islami ya novel yang banyak Hadist dan Ayat-Nya, bercerita tentang Mesir, Arab dan Timur Tengah, dan memperbanyak kosakata Bahasa Arab. Novel ini tidak terlalu banyak tentang Ayat ayat-Nya, tpi lebih banyak berbicara tentang sejarah.

Saya tidak mengatakan novel ini jelek, novel ini sangat bagus, karena berhasil mengungkap fakta yang banyak orang tidak akan tahu jika novel ini tidak terbit. Tapi sekali lagi, ini subjektifitas saya pribadi.

Saya baru bisa menikmati membaca novel ini ketika penulis memasuki  Bagian III : Cordoba dan Granada. Barulah saya mulai menikmati, ceritanya mengalir, sentuhan sosial masyarakat mulai banyak bermunculan. Pada setengah terakhir novel ini pembaca tidak lagi dibombardir akan fakta-fakta sejarah semata. Ya, saya hanya menikmati setengah dari novel ini.mungkin novel ini lebih cocok jika divisualisasikan.bagaimana menurutmu? sudah baca novelnya atau bahkan sudah nonton filmnya ?_?

Joint With